Rasional Penurunan Pungutan Ekspor Sawit

Indonesia telah mengubah pungutan ekspor secara agresif pada akhir tahun 2020 mengikuti tingginya selisih antara minyak bumi dan minyak nabati, namun seiring naiknya harga CPO dan saldo dana BPDP-KS, pemerintah
didorong untuk melakukan penyesuaian tarif pungutan ekspor produk kelapa sawit. Pada halaman ini kami membahas alasan dari penyesuaian skema tarif pungutan ekspor tersebut.

Latar Belakang

Pemerintah Indonesia telah mengubah tarif
Pungutan Ekspor secara agresif pada akhir tahun
2020 melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK)
Nomor 191/PMK.05/2020 di mana tarif pungutan
ekspor naik secara berkala sesuai Harga Patokan
Ekspor (HPE) dengan tarif tertingginya menyentuh
USD 255/ton.
Alasan perubahan agresif tersebut antara lain
akibat dari naiknya selisih harga CPO dengan harga
solar sehingga mengancam kecukupan dana untuk
kelangsungan mandat B30, serta mendukung
keberlanjutan pengembangan layanan dukungan
pada program pengembangan industri sawit
nasional.

Adapun program-program yang akan didorong oleh
pemerintah melalui BPDP-KS yaitu peningkatan
kualitas dan kuantitas pelaksanaan program
Peremajaan Sawit Rakyat (PSR), pengembangan
SDM, penelitian dan pengembangan, serta untuk
menjaga prinsip keberlanjutan industri sawit.
Namun, seiring naiknya harga CPO dan stabilnya
dana kas BPDP-KS, pemerintah serta pelaku usaha
mengusulkan agar terjadinya pengurangan atas tarif
pungutan ekspor. Berikut adalah tiga pertimbangan
utama atas perubahan tarif pungutan ekspor.

Meningkatkan Daya Saing Produk Kelapa Sawit Indonesia

Tingkat Kesejahteraan Petani Sawit

Keberlanjutan Layanan BPDPKS