Potensi EBT di Indonesia Masih Besar
Berdasarkan PP 22/2017, tentang Rencana Umum Energi Nasional, disebutkan bahwa pada tahun 2015, masih besar potensi yang dikembangkan dari EBT. Potensi inilah yang mendasari Pemerintah untuk menetapkan porsi EBT sebesar 23% pada bauran energi nasional, sementara saat ini porsi EBT baru mencapai kurang lebih 13%.
Potensi EBT Berdasarkan Perkiraan Tahun 2015

Rencana Pengembangan Pembangkit Listrik Energi Terbarukan 2021-2030 (MW)
PLN sendiri dalam RUPTL 2021-2030 telah menyusun rencana pembangunan pembangkit EBT hingga tahun 2030, dengan porsi EBT terbesar didominasi oleh PLTA dan PTL Surya masing-masing sebesar 44,3% dan 22,4%.

Baik dalam rencana co-firing, potensi EBT dalam RUEN maupun pada RUPTL 2021-2030, belum secara spesifik menyebutkan kemungkinan pengembangan pembangkit berbasis BBN (kelapa sawit). Tidak ada perencanaan pembangunan pembangkit atau co-firing dengan bahan baku nabati ataupun PLT BBN). Namun demikian PLT EBT Base merupakan rencana PLTU yang belum committed dan dapat digantikan dengan pembangkit EBT. Jika kita lihat lebih jauh sebaran rencana pembangunan pembangkit EBT sebenarnya sejumlah 33% berada di Sumatra dan Kalimantan di mana banyak beroperasi perkebunan kelapa sawit sehingga memudahkan untuk jadikan sumber bahan baku BBN.
Rencana Sebaran Pembangkit EBT s/d 2030

RPJMN 2020-2024 Memasukkan Pembangunan Energi Terbarukan Green Fuel Berbasis Kelapa Sawit Sebagai Proyek Prioritas
Dimasukannya pembangunan EBT Green fuel berbasis kelapa sawit sebagai proyek prioritas dalam RPJMN 2020-2040, akan dapat memberikan manfaat sebagai berikut :

BPDPKS sebagai instrumen Pemerintah dalam memfasilitasi pengembangan sektor kelapa sawit nasional mendukung rencana ini, termasuk dalam hal pendanaan, fasilitasi riset serta advokasi dan sosialisasi kebijakan.
Meskipun bahan baku sawit cukup tersedia, agar pelaksanaan rencana ini dapat berhasil maka BPDPKS mengajukan beberapa opsi rekomendasi diantaranya (a) penetapan sumber bahan baku untuk pasokan green fuel difokuskan pada perkebunan sawit yang dikelola swadaya oleh petani rakyat dan perlunya tatanan kebijakan yang tepat termasuk pemberian insentif yang sesuai mengingat biaya produksi green fuel berbasis sawit tidak murah.
Dari RPJMN 2020-2024 diketahui bahwa dibutuhkan biaya capex sebesar Rp 11,9 trilyun untuk pembangunan green refinery standalone berkapasitas 20 ribu barrel per hari. Oleh karenanya perlu dilakukan optimalisasi operasi dan efisiensi biaya produksi untuk menghasilkan produk green fuel yang kompetitif sebagai opsi pasokan bahan bakar ke PLT BBN maupun kemungkinan co-firing.