Sumber daya Energi Terbarukan Indonesia terdiri dari sinar matahari, angin, tenaga air, biomassa, biogas, sampah kota, panas bumi, gerakan dan perbedaan suhu lapisan laut, serta bahan bakar nabati cair. Kerangka peraturan tarif baru diperlukan untuk mendukung pengembangan sumber daya EBT.
Permasalahan dalam Pengembangan EBT di Indonesia
Untuk menjaga keterjangkauan harga listrik oleh masyarakat luas, Kementerian ESDM secara simultan mengimplementasikan peraturan dari sisi pasokan listrik, mematok harga beli EBT sebagai prosentase dari biaya produksi regional PLN. Namun demikian, masih terdapat beberapa permasalahan dalam pengembangan EBT di Indonesia, yaitu:
- Perencanaan sistem tenaga dan praktik manajemen jaringan yang tidak memadai;
- Perjanjian jual beli listrik yang tidak seimbang yang berdampak buruk pada bankability;
- Proses pembelian dan kontrak yang kontraproduktif, praktik negosiasi, persyaratan Build-Own-Operate- Transfer (BOOT), dan pembatasan perubahan kepemilikan;
- Persyaratan kandungan lokal yang tinggi sebelum pembentukan pasar yang cukup besar untuk mencapai skala ekonomi manufaktur dalam negeri; dan pembatasan investasi asing.

Fokus terhadap keterjangkauan harga dan pembatasan harga oleh Pemerintah juga berakibat pada kurang menariknya investasi pembangungan EBT di Indonesia sementara RUPTL 2021-2030 memfokuskan pada porsi pembangkit baru berbasis EBT yang lebih besar hingga tahun 2030.
Skema Harga Energi Terbarukan Berpatokan Pada Biaya Pokok Produksi (BPP)
Harga patokan dalam pembelian tenaga listrik yang saat ini berlaku pada pembangkit EBT biasanya dikenal dengan istilah Feed-in Tariff (FIT). Jika dilihat pada tabel berikut, metode penetapan tarif EBT didasarkan pada BPP, di mana BPP dihitung berdasarkan harga listrik di setiap daerah (provinsi). Apabila BPP regional lebih rendah dari rata-rata BPP nasional maka tidak digunakan mekanisme pembatasan harga (price cap).
Namun demikan jika BPP regional lebih tinggi dari rata-rata BPP nasional maka akan ada pembatasan harga dari BPP regional untuk semua jenis Energi Terbarukan kecuali untuk BBN, yang akan dapat dilakukan negosiasi antara IPP dan PLN.

ADB menyebutkan bahwa ada tiga hal penting yang perlu diperhatikan atas patokan harga acuan yang
didasarkan pada BPP:
- BPP didasarkan pada historical cost dan bukan memperhitungakan forward looking marginal cost, yang menggambarkan biaya modal, operasi dan bahan bakar yang diperlukan PLN dikemudian hari.
- BPP belum memperhitungkan non-financial benefit dari pembangunan EBT, misal belum memperhitungkan penurunan polusi udara serta benefit untuk masyarakat setempat.
- BPP dan price cap yang ditetapkan belum sepenuhnya mencerminkan biaya pembangunan EBT sebagai contoh proyek panas bumi dan angin sulit untuk layak secara finansial apabila dihadapkan pada price cap yang ada sekarang.
Hal lain yang perlu diperhatikan juga adalah, mekanisme procurement yang digunakan bukan melalui tender yang kompetitif namun berupa penunjukan langsung dengan kuota, penunjukan langsung, penunjukan langsung oleh pemda, dan penunjukan langsung apabila terdapat cadangan yang proven.