Jika Industri Penerbangan Indonesia Ingin Mencapai Target Karbon Tanpa Membatasi Pertumbuhan Lalu Lintas, maka Diperlukan Peralihan Ke Bahan Bakar Penerbangan Berkelanjutan atau Biasa Disebut Sustainable Aviation Fuel (SAF). Bahan Bakar ini Dapat Diproduksi dari Bahan Baku Berkelanjutan dan Sangat Mirip Komposisi Kimianya dengan Bahan Bakar Jet Berbasis Fosil Tradisional.
Latar Belakang
Adanya dorongan dari dunia internasional dengan perjanjian Paris yang diikuti dengan COP26 di Glasgow pada November 2021 kemarin kembali menempatkan fokus pada pencapaian komitmen pengurangan Gas Rumah Kaca (GRK).
Indonesia pun merespon pada bulan September lalu, mengukir sejarah dengan adanya pengujian Bioavtur J2.4 menggunakan pesawat CN 235 Flying Test Bed yang berhasil terbang dari Bandung menuju Jakarta.
Penelitian bioavtur yang mengandung nabati 2,4% ini telah dilakukan selama 10 tahun dan banyak dihadapkan dengan berbagai tantangan. Penelitian dimulai dari sinergi penelitian antara Pertamina Research and Technology Innovation (Pertamina RTI) dan Pusat Rekayasa Katalisis Institut Teknologi Bandung (PRK- ITB) dalam pengembangan katalis “Merah-Putih” menggunakan bahan baku refined bleached deodorized Palm kernel oil (RBDPKO) untuk dikonversi menjadi bahan baku bioavtur.

Sumbangsih Pada Target Emisi CO2
Menurut Paris Agreement, sektor penerbangan berada dalam 10 besar penghasil CO2 dengan menyumbang sebesar 2,1% dari kontribusi global. Keberhasilan ini akan menjadi tahap awal dalam peningkatan kontribusi bioavtur di sektor transportasi udara dalam rangka meningkatkan ketahanan dan kemandirian energi nasional.


Pada Peraturan Menteri ESDM No 12 tahun 2015 tentang Penyediaan, Pemanfaatan dan Tata Niaga Bahan Bakar Nabati, terdapat mandat penggunaan bahan bakar nabati untuk transportasi udara sebesar:
- 2% mulai 2016
- 3% mulai 2020
- 5% mulai 2025
Potensi demand SAF Indonesia diproyeksi sesuai mandat tersebut mencapai 400 ribu KL pada 2035.