Bahan bakar HVO dan SAF dapat diproduksi
melalui berbagai macam bahan baku diantaranya.
Saat ini bahan baku yang banyak digunakan adalah berasal dari minyak nabati. Pada tahun 2007 Neste, perusahaan dari Finlandia membangun pabrik komersial HVO pertama di dunia dengan bahan baku kelapa sawit yang kemudian diintegrasikan dengan fasilitas kilang minyak. Sejumlah 90% bahan baku di Nestee untuk produksi HVO adalah kelapa sawit.
Indonesia merupakan negara penghasil sawit
terbesar di dunia dengan produksi mencapai 42,5
juta ton per tahun dengan share produksi terhadap global mencapai 58%. Kondisi ini merupakan peluang yang besar bagi Indonesia untuk menjadi negara produsen HVO dengan mengoptimalkan bahan baku dalam negeri. Kompetitor sawit terdekat Indonesia adalah Malaysia dengan share terhadap global hanya mencapai 19% atau hanya 1/3 dari share yang dimiliki Indonesia.

Pasar HVO di Asia dan dan Prospek di Negara Berkembang
Malaysia saat ini telah melakukan kerja sama MoU dengan Shanxi Construction Investment Group perusahaan BUMN Tiongkok untuk melakukan kolaborasi dalam pembangunan pabrik SAF yang berlokasi di Johor. Selain itu Tiongkok juga telah membangun pabrik HVO dengan kapasitas 400 kt per tahun dengan bahan baku biomassa. Negara seperti India, Brazil, Argentina dan beberapa negara Asia lainnya memiliki surplus terhadap residu produk pertanian, yang juga dapat menjadi peluang untuk pengembangan HVO kedepannya. Tantangan yang
saat ini dihadapkan adalah ketersediaan lahan untuk pengembangan komoditas serta produktivitasnya. Jumlah permintaan yang meningkat akan mendorong keseimbangan luasan lahan sehingga dapat mengganggu pilihan antara mempertahankan hutan atau mengkonversinya menjadi lahan pertanian. Semenjak adanya moratorium perkebunan sawit sejak tahun 2018 luasan lahan sawit tidak mengalami peningkatan yang signifikan, sehingga yang perlu didorong adalah masalah replanting dan peningkatan produktivitas sawit.

Kelapa Sawit Berpeluang Besar sebagai Salah Satu Bahan baku utama HVO dan SAF
Kelapa sawit memiliki reputasi yang buruk terhadap isu lingkungan. Akibat reputasi ini, Uni Eropa telah mengeluarkan kelapa sawit sebagai bahan bakar energi baru terbarukan di tahun 2030.
Sebenarnya diantara bahan baku yang dapat digunakan sebagai sumber bahan bakar, kelapa sawit dan Rapeseed memiliki emisi CO2 terendah terhadap land use change (LUC). Minyak biji bunga matahari dan kedelai memiliki emisi CO2 terhadap LUC yang lebih tinggi dibandingkan kelapa sawit.
Sapere Report ini menunjukan Realitanya kelapa sawit memiliki potensi yang lebih rendah terhadap dampak lingkungan dibandingkan dengan
komoditas lainnya di Eropa untuk biofuel seperti bunga biji matahari dan Soybean. Diversifikasi bahan baku merupakan kunci utama
dalam pengembangan HVO, Neste telah memangkas penggunaan kelapa sawit dari 90% kelapa sawit menjadi 80% limbah dan residu, seperti minyak jelantah. Disamping itu Neste juga menggunakan 10 bahan baku yang berbeda untuk memproduksi HVO. Adanya fleksibilitas penggunaan bahan baku dapat merespon kebutuhan pasar dan pelanggan yang berbeda-beda. HVO sendiri sepenuhnya compatible dengah petroleum diesel yang dapat di
upgrade dan digunakan sebagai SAF.

Berdasarkan produtivitasnya, kelapa sawit memiliki yang paling tinggi dibandingkan dengan bahan baku lain dengan produktivitas biodiesel mencapai 98,7%. Kelapa sawit merupakan perennial crop dengan produktivitas 4.220 kg/ha. Opsi lain untuk mengatasi pemenuhan bahan baku HVO dan SAF adalah. Palm Fatty Acid Destilate (PFAD) yang merupakan by-product dari pengolahan kelapa sawit.
Apabila mandatori blending bahan bakar dilakukan secara masif di negara-negara berkembang, tentunya
akan banyak negara yang akan bergantung terhadap impor bahan baku yang berasal dari minyak nabati termasuk minyak sawit. Indonesia perlu terus mendorong penggunaan kelapa sawit dalam rangka menghasilkan produk yang berkualitas tinggi. Jika tidak, maka Indonesia akan kehilangan peluang besar. Dalam waktu 3-5 tahun ke depan diprediksi HVO akan berkontribusi terhadap penggunaan bahan bakar biodiesel sebesar 16-23% dari saat ini hanya 9%. Hal ini didorong dengan semakin banyaknya investasi pabrik HVO di dunia.