Oleh: Lin Che Wei, CFA
Latar Belakang
Tahun 2021 meskipun menghadapi gangguan rantai pasok menjadi tahun titik balik bagi perkembangan Hydrogenated Minyak nabati (HVO) dan Sustainable Aviation Fuel (SAF). Perkembangan HVO dan SAF akan mengalami perubahan yang drastis setelah sebelumnya Eropa adalah leader dalam kapasitas produksi yang ada pada saat ini dengan sekitar 4 juta ton per tahun, kemudian diikuti oleh AS dengan sekitar 2 juta ton per tahun.
Namun pertumbuhan diperkirakan akan berasal dari AS dan Asia. IEA memperkirakan sekitar separuh dari rencana penambahan kapasitas produksi akan berasal dari AS dan Asia. Sebelumnya HVO atau HAFE hanya ada di Eropa dan AS sebab Capital Expenditure yang tinggi dan membutuhkan intervensi non-market atau subsidi dari Pemerintah dalam bentuk insentif yang cukup tinggi.
Sebelumnya hanya negara Eropa dan Amerika Serikat yang mempunyai insentif mekanisme untuk mendorong pertumbuhan industry HVO dan SAF. Beberapa fasilitas HVO dan SAF yang ada di Asia juga dibangun untuk memenuhi kebutuhan demand dari Eropa.
Progres di tahun 2021
Namun ada beberapa perkembangan positif yang terjadi di tahun 2020-2021 yang dapat membuat HVO dan SAF menjadi peluang pengembangan bagi industri Sawit.
Faktor-faktor yang menjadi pendorong itu antara lain :
- Trend insentif terhadap Biofuel yang bersifat lebih sustainable yang dimulai oleh Presiden Biden di AS akan memicu pertumbuhan HVO dan SAF fasilitas di seluruh dunia.
- Meskipun mencatat rekor tertinggi Sawit tetap adalah salah satu minyak nabati yang paling kompetitif untuk feedstock HVO dan SAF.
3. dari sudut lingkungan, produktivitas sawit yang tinggi membuat sawit menjadi minyak nabati yang mempunyai emisi karbon relatif tinggi namun membutuhkan land use yang relatif rendah.
4. Kelangkaan dari waste dan used-cooking oil akan menyebabkan demand yang tinggi dari Oilseeds induknya untuk mengisi permintaan yang tinggi dari 2nd generation feedstock.
5. Kombinasi dari Market pull, Technology Push serta innovasi dalam hal insentif yang diberikan oleh berbagai pemerintah untuk mendorong green finance akan juga membuka peluang di sektor ini.
Pertama, di bawah pemerintah Joe Biden – Amerika Serikat memberikan dorongan yang agresif untuk menurunkan emisi karbon sehingga insentif untuk membuat biofuel yang bersifat lebih ramah lingkungan membuat permintaan terhadap Minyak nabatis sebagai feedstock menjadi meningkat. Permintaan terhadap biofuel dengan intensitas karbon rendah serta FAME yang menghadapi batas pencampuran membuat banyak perusahaan mengkaji secara serius investasi HVO dan SAF. HVO dan SAF terus berkembang dan makin menjadi

penting di dunia. Tidak seperti conventional biodiesel yang menghadapi keterbatasan dalam hal blending wall dan menghadapi spefikasi bahan baku national. Global kapasitas HVO diperkirakan akan mencapai 24 juta ton pada tahun 2024. Total Produksi AS diperkirakan akan mencapai 10 Juta ton per 2024
Kedua, meskipun mencatat rekor tertinggi secara harga namun minyak sawit tetap merupakan feedstock yang paling murah dibandingkan dengan minyak nabati lainnya dalam pembuatan HVO dan SAF. Berdasarkan studi yang dilakukan Waseda University ongkos feedstock merupakan biaya terbesar dari pembuatan Biofuel, studi di tahun 2011 menunjukan ongkos antara 64-73% dari total ongkos pembuatan biofuel. Dengan makin meningkatnya harga minyak nabati maka ongkos pembuatan biofuel juga akan melambung, sehingga faktor inilah yang membuat biofuel berbasis Sawit menjadi sangat kompetitif dibandingkan dengan biofuel berbasis Rapeseed, Sunflower atau kedelai. Harga dari drop in Renewable fuels HVO dan SAF juga mencapai rekortertinggi di Eropa di tahun 2021 – hal ini disebabkan oleh suplai yang ketat serta naiknya harga Renewable feedstock yang bersamaan dengan permintaan untuk Renewable transport fuel yang lebih sustainable. Sawit tetap merupakan salah satu feedstock yang paling kompetitif, namun di Eropa tekanan yang sangat besar secara politis telah membuat beberapa player yang tidak memakai Minyak sawit harus membayar ongkos yang tinggi. Sebagai contoh Total Energies mengatakan bahwa menggunakan Rapeeseed Oil sebagai feedstack akan mengurangi profit.
Ketiga, Minyak sawit adalah Feedstock yang paling efisien dan paling rendah land usage per hektarnya untuk menjadi feedstock untuk biofuel. Hal Ini lebih menguntungkan dibandingkan dengan minyak nabati lainnya seperti Rapeseed, Soybean dan Sunflower Oil yang mempunyai emisikarbonrelatif tinggidan membutuhkan land use yang juga tinggi. Perkembangan dari diplomasi Sawit di Eropa yang berbasis non-diskriminatif dan trend agar semua minyak nabatis mendapatkan perlakuan sustainabilitas serupa juga mendorong daya Tarik Sawit sebagai feedstock. Sebelumnya, Renewable Energy Directive 2 (RED2) di Eropa , HVO yang dibuat dari Rapeseed, Sunflower dan Soyabean secara perbandingan dianggap lebih baik dalam hal Green House Gas Saving.
Yield dari Minyak sawit secara global telah meningkat namun masih jauh dari peningkatan demand. Jumlah lahan yang digunakan untuk menanam kelapa sawit telah meningkat cukup drastis. Sejak tahun 1980 jumlah lahan yang digunakan untuk menanam kelapa sawit telah meningkat hampir 4,5 x lipat dari 4 juta menjadi sekitar 19 juta hektar. Indonesia dan Malaysia berkontribusi 63% total lahan menyumbang 84% dari produksi, karena kedua negara mempunyai yield yang relatif tinggi dibandingkan dengan negara produsen sawit lainnya. Total Lahan yang dipakai untuk menanam Oilseeds mencapai 300 juta hektar. Minyak sawit berkontribusi sekitar 19 Juta hektar atau 6% dari total lahan dan berkontribusi terhadap 36% produksi minyak.
Keempat, Shortage dari Waste dan Used Cooking Oil akan menyebabkan perhatian berpusat pada sumber feedstock minyak nabati yang paling kompetitif. Atas pertimbangan GHG maka produser mengalihkan perhatiannya pada 2nd Generation oil (Waste, Used Cooking Oil) namun menghadapi kesulitan karena keterbatasan suplai yang ketat. Harga Used Cooking Oil yang tinggi dan suplai yang relatif terbatas membuat Malaysia mulai meregulasi perdagangan minyak goreng bekas dan Indonesia juga mulai mengamati regulasi terhadap UCO karena ini akan berakibat cukup significant terhadap perkembangan demand terhadap CPO. Intensitas carbon sangat bergantung kepada pilihan feedstock, Biasanya feedstock yang berasal dari waste atau Used Cooking Oil memberikan lebih carbon intensity credit dibandingkan dari non-waste feedstock misalnya minyak nabati atau crop-based feedstock.
Kelima, kombinasi antara market pull, teknologi push dan insentif mekanisme yang coba dikembangkan oleh Pemerintah untuk mendorong investasi untuk fasilitas