Direktur Bioenergi, Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE)_
Ibu Andriah Feby Misna dilahirkan di Banda Aceh dan alumni dari Fakultas Teknik Kimia Universitas Syiah Kuala. Beliau menyelesaikan studinya di Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh pada tahun 1994 dan melanjutkan study pada Double Degree Master of Development Planning and Management Infrastructure, ITB Bandung and Master of Environmental and Infrastructure Planning, Groningen University, the Netherlands pada tahun 2005-2007. Beliau menjabat sebagai Direktur Bioenergi pada Ditjen Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi, Kementerian ESDM sejak Februari 2018. Kiprahnya dalam pengembangan Bionergi, termasuk Bioavtur cukup besar. Beliau ikut berperan dalam keberhasilan pelaksanaan uji terbang Bioavtur pada bulan September 2021 lalu, khususnya dalam memfasilitasi dan mengkoordinasi para stakeholder sehingga kegiatan uji terbang dapat berjalan dengan baik.
Saat ini telah berhasil dilakukan uji coba J2,4 produksi Pertamina pada CN 235, bagaimana upaya Pemerintah untuk mengaplikasikan inisiatif program bioavtur dalam penerbangan komersial dalam negeri maupun internasional?
Saat ini sedang disusun revisi Roadmap Penerapan Bioavtur dari Roadmap yang telah disusun 10 tahun lalu dengan mempertimbangkan kondisi terkini di lapangan khususnya produk bioavtur guna memastikan
implementasi bioavtur berjalan dengan lancar. Saat ini, produksi bioavtur masih dilakukan melalui metode co- processing yaitu dengan mengumpankan maksimal 2,4% Minyak inti sawit dengan kerosene di Kilang Pertamina yang ada di Cilacap sehingga menghasilkan spesifikasi produk bioavtur sesuai Standar Nasional Indonesia.
Selanjutnya akan dilakukan berbagai modifikasi di Kilang sehingga diharapkan natinya Indonesia juga bisa memproduksi bioavtur hingga J100.
Dalam usulan Roadmap, telah disusun beberapa tahapan pengembangan bioavtur selanjutnya, yaitu pelaksanaan uji terbang pada berbagai tipe pesawat komersial, produksi bioavtur pada kilang Pertamina untuk skalal komersial, implementasi pilot phase, rencana mendapat approval penerapan pada airlines, rekomendasi untuk penerbangan domestik, serta mandatori untuk penerbangan domestik. Penyusunan Roadmap akan terus dikoordinasikan dengan pihak terkait.
Produksi Bioavtur skala komersial saat ini sedang dikembangkan oleh Pertamina sebagai bagian dari pengembangan green refinery yang diharapkan mulai dapat berproduksi di tahun 2024 atau 2025.
Bagaimana arah kebijakan Pemerintah untuk bioavtur dan bagaimana tahapan besaran campuran bioavtur yang direncanakan?
Dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 12 tahun 2015, telah mengatur kewajiban pencampuran bahan bakar nabati dalam bahan bakar jenis avtur dengan persentase sebesar 3% pada tahun 2020, dan pada tahun 2025 akan meningkat menjadi Bioavtur 5%. Namun implementasi pencampuran bioavtur belum berjalan karena berbagai kendala, diantaranya berkaitan dengan ketersediaan produk bioavtur, teknologi proses dan juga keekonomiannya. Sehingga kedepanya Pemerintah akan mengupayakan implementasi mandatori bioavtur dalam penerbangan domestik dengan melihat kemampuan produksi bioavtur dalam negeri dan juga dengan memperhatikan keekonomian dari implementasi bioavtur.
Pengembangan bioavtur akan dilaksanakan secara bertahap seperti pada pengembangan biodiesel. Setelah berhasil melakukan uji terbang bahan bakar bioavtur dengan campuran 2,4% atau J2,4 maka strategi jangka pendek adalah komersialisasi J2,4 untuk pemanfaatan dan mandatori untuk penerbangan domestik.
Peningkatan pencampuran akan dilakukan secara bertahap setelah memastikan implementasi J2,4 berjalan dengan lancar dan faktor-faktor pendukung lain seperti keberlangsungan bahan baku, kepastian kapasitas kilang produksi bioavtur, kelayakan teknis, dan keekonomian bioavtur terpenuhi
Apa saja yang menjadi tantangan bagi Indonesia dalam penerapan program bioavtur ini?
- Keberhasilan pembuatan Katalis Merah Putih untuk memproduksi Bioavtur pada skala lab perlu dibuat dalam skala industri. PT Pertamina (Persero), PT Pupuk Kujang, dan PT Rekacipta Inovasi ITB saat ini dalam proses mendirikan pabrik katalis merah putih di Kawasan industri Cikampek.
Perlu melakukan kajian ketersediaan dan sustainability of Supply dari bahan baku.
- Kesiapan kilang Pertamina dalam memproduksi bioavtur, termasuk industri pendukung dan infrastruktur.
- Ketersediaan insentif untuk menutupi selisih harga antara bioavtur dan avtiutr yang berasisi energi fosil dan dukungan regulasi lintas sektoral untuk mendukung program Bioavtur.
Selain itu dalam pelaksanaan uji terbang untuk pesawat komersial nantinya akan membutuhkan biaya yang sangat besar dan jalur koordinasi yang lebih panjang dibandingkan dengan road test biodiesel
Bagaimana menyikapi harga bahan bakuyang berpotensi meningkat ?
Pengembangan bioavtur sebagai salah satu produk bahan bakar nabati memiliki kendala yang sama dengan pengembangan biodiesel, dimana harganya relatif lebih tinggi dari bahan bakar fosil sehingga membutuhkan dukungan dari berbagai pihak untuk menjamin keekonomian bioavtur untuk dapat diimplementasikan secara komersil.
Selainitumengingatbioavturyangsaatinidikembangkan bersumber dari sawit, perlu dibahas di level yang lebih tinggi, apakah memungkinkan untuk mendapat insentif dari BPDPKS seperti yang dilakukan untuk Program Biodiesel. Selain itu kebijakan pengenaan carbontaxdan penerapan carbonpricing juga dapat menjadi salah satu peluang untuk mendorong implemetasi bioavtur.
Sedangkan untuk mengatasi harga bahan baku yang cenderung naik, saat ini beberapa opsi akan dikaji oleh pemerintah diantaranya melakukan pendataan dan pemetaan potensi RBDPKO nasional, menggunakan kontrak jangka panjang, atau saling memanfaatkan RBDPKO dari perkebunan sawit milik BUMN. Serta melihat potensi bahan baku lain yang lebih ekonomis yang dapat dimanfaatkan untuk menghasilkan bioavtur.
Bagaimana pandangan Ibu terhadap upaya implementasi bioavtur yang dapat menunjang pencapaian kontribusi bauran energi EBT 23% pada tahun 2025 ?
Saya rasa ini program yang perlu kita dukung bersama dan akan berdampak positif secara nasional. Disektor ransportasi darat kita sudah berhasil melakukan substitusi minyak diesel dengan biodiesel. Dan selanjutnya kita juga perlu memikirkan upaya dekarbonisasi untuk transportasi udara dalam rangka transisi energi. Pengembangan bahan bakar bioavtur menjadi tahap awal dalam upaya peningkatan kontribusi EBT di sektor transportasi udara dalam rangka meningkatkan ketahanan dan kemandirian energi nasional, serta menurunkan emisi gas rumah kaca. Sektor transportasi udara termasuk salah satu penyumbang emisi gas rumah kaca yang cukup besar di sektor transportasi. Di tingkat global pun, dekarbonisasi di sektor transportasi terus didorong.
Program pemanfaatn bioavtur ini termasuk bagian dari Proyek Strategis Nasional (PSN) Hilirisasi Industri Katalis dan Bahan Bakar Biohidrokarbon yang dikoordinasikan oleh Kementerian ESDM, serta termasuk dalam etalase Prioritas Riset Nasional (PRN). Pengembangan bahan bakar bioavtur juga merupakan salah satu strategi Pemerintah untuk mendorong percepatan implementasi energi baru terbarukan (EBT) demi mencapai target kontribusi EBT sebesar 23% pada tahun 2025 serta sebagai upaya penuruan emisi gas rumah kaca (GRK).
Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah dengan memanfaatkan fasilitas yang telah diberikan oleh Pemerintah, baik terkait perpajakan seperti super tax deduction untuk riset maupun insentif non fiskal. Dengan perkiraan konsumsi avtur harian sekitar 14 ribu kL, maka potensi pasar bioavtur J2,4 akan mencapai sekitar RP 1,1 Triliun per tahunnya. Tentunya akan menjadi pangsa pasar yang besar bagi pengembangan industri sawit nasional.