Special Focus:  Membedah Kelangkaan Minyak Goreng  Indonesia

Indonesia Produsen CPO Terbesar Dunia, Tetapi di Awal Tahun 2022 Minyak Goreng Langka. Apa yang Sebenarnya Terjadi?

Harga CPO internasional merangkak naik sejak 2Q20 hingga 4Q21, diantaranya karena ketatnya suplai minyak nabati global, melonjaknya harga pupuk internasional, meningkatnya penggunaan biofuel, krisis tenaga kerja di Malaysia, dinaikkannya Pungutan Ekspor (PE), dan pulihnya konsumsi rumah tangga seiring dengan membaiknya pandemi Covid-19 di berbagai penjuru dunia.

Sebagai produsen terbesar CPO dunia, Indonesia
mendapatkan keuntungan dari kenaikan harga
CPO internasional, antara lain meningkatnya
kesejahteraan 7,1 juta petani, melesatnya ekspor
dan neraca dagang ke rekor tertinggi sepanjang
masa, naiknya pendapatan pajak, dan penghematan devisa negara karena impor bahan bakar minyak (BBM) dapat ditekan.

Namun, di sisi lain, harga minyak goreng sebagai
produk turunan ikut naik, merugikan 278 juta
masyarakat Indonesia sebagai konsumen. Untuk
melindungi konsumen, Kementerian Perdagangan

RI mengintervensi harga minyak goreng yang
tinggi dengan harga eceran tertinggi (HET). Tetapi,
rendahnya HET justru mengakibatkan sejumlah
penyimpangan, yang menyebabkan minyak goreng menjadi langka di pasar. Kelangkaan ini, bersama dengan perang antara Rusia dan Ukraina, semakin mendorong naik harga CPO internasional.

Tren pun lambat laun berbalik: jika biasanya (dan
seharusnya) harga CPO sebagai bahan baku lebih
rendah dari minyak goreng, harga CPO justru
menjadi lebih tinggi dari minyak goreng. Akibatnya, tidak hanya langka, tetapi harga minyak goreng menjadi tetap tinggi di pasar akibat selisih HET dan harga keekonomian yang semakin lebar.

Akhirnya, Kementerian Perdagangan RI mencabut
HET minyak goreng kemasan, menaikkan HET
minyak goreng curah dari Rp 11.500/L menjadi Rp
14.000/L dengan disubsidi BPDPKS, dan mencabut
DMO dan DPO. Sehingga harga minyak goreng
kemasan kembali ke mekanisme pasar.