Menjaga Kesinambungan Dana BPDPKS dalam Mengatasi Tingginya Harga CPO & Minyak Goreng Domestik

Oleh Lin Che Wei, CFA

Q: Apa yang terjadi dengan Peraturan DMO/DPO
yang kemudian dibatalkan dan diubah menjadi
kenaikan pungutan ekspor?
A: Pada awal tahun Indonesia sebagai produsen dan pengekspor minyak kelapa sawit dunia berusaha meredam lonjakan harga minyak goreng domestik yang naik sekitar 40% dari tahun sebelumnya seiring dengan tingginya harga minyak kelapa sawit dunia.
Kementerian Perdagangan pada waktu itu
mengeluarkan peraturan menyangkut Harga Eceran Tertinggi (HET) baik untuk Minyak Goreng Kemasan, Minyak Goreng Kemasan Sederhana dan Minyak Goreng Curah. Selain itu Indonesia juga meminta pengekspor untuk melakukan penyerahan dalam negeri (Domestik Market Obligation) dengan harga Domestic Price Obligation. Perusahaan yang akan
melakukan ekspor diminta untuk melakukan terlebih dahulu penyerahan CPO dan Olein domestik. Selama periode peraturan ini diberlakukan terkumpul 551
Juta liter minyak goreng selama periode 14 Februari hingga 16 Maret.
Pemerintah mencoba untuk menetapkan Harga
Eceran Tertinggi Rp 14.000 per liter. Sementara
Harga keekonomian berkisar Rp 22.000-23.500.
Sejak 24 Januari pengekspor harus mendapatkan
persetujuan terlebih dahulu dari Kementerian
Perdagangan. Sebelumnya pengekspor hanya
diharuskan melakukan deklarasi kepabeanan dan
membayar pungutan ekspor dan bea keluar.
Rencananya kebijakan DMO/DPO ini akan
diberlakukan selama enam bulan. Kebijakan DMO/
DPO kelapa sawit Sawit ini menyusul kebijakan
larang ekspor batu bara yang diberlakukan pada 1
Januari ketika Indonesia berusaha menjaga pasokan pembangkit listrik dengan meminta pengekspor tambang untuk memenuhi kewajiban domestik. Sebelum kebijakan DMO/DPO ini sebenarnya pemerintah telah mengkaji kemungkinan pemberian insentif sebesar Rp 7,6 triliun untuk 250 juta liter minyak goreng setiap bulan selama enam bulan.

Q: Apa yang menjadi tantangan dari kebijakan
DMO/DPO dan HET minyak goreng?
A: Kebijakan DMO/DPO dan HET tidak berhasil
mengatasi kelangkaan yang terjadi pada
ketersedian minyak goreng di level pengecer
karena harga CPO ternyata terus melonjak seiring
dengan krisis Rusia dan Ukraina. Dalam penjelasan
Menteri Perdagangan di depan DPR, Kementerian
Perdagangan menyatakan lonjakan harga CPO dan minyak nabati lainnya menyebabkan gap antara bahan baku dan barang jadi semakin tinggi. Selain itu penerapan HET juga berpotensi menyebabkan terjadinya disparitas harga yang sangat tinggi yang menyebabkan banyak supplier sepanjang rantai nilai yang menahan barang.
Alasan terjadinya kelangkaan minyak goreng
meskipun Kementerian Perdagangan berhasil
mengumpulkan 551 juta liter (14 Februari -16 Maret 2022) adalah karena harga yang sangat murah dan munculnya persepsi kelangkaan minyak goreng sehingga terjadi panic buying di level konsumen, yaitu banyak konsumen yang mencoba untuk membeli lebih banyak dari kebutuhannya apabila tersedia minyak goreng yang sesuai dengan HET.
Alasan kedua adalah rantai pasokan melakukan
penumpukan stok, karena para pelaku usaha merasa harga minyak goreng berada di bawah harga bahan baku. Alasan ketiga adalah pedagang mengambil keuntungan tambahan melalui arbitrase. Alasan keempat adalah reseller memperebutkan stok. Akibatnya meskipun secara perhitungan jumlah suplai yang disediakan sejumlah 551 juta liter telah melebihi kebutuhan konsumsi 270 juta penduduk di 2 liter per orang, ternyata tetap terjadi kelangkaan.
Pada pertengahan Maret Pemerintah melakukan
perubahan kebijakan. Indonesia menghapus
mekanisme persetujuan ekspor dan menghapus
peraturan Harga Eceran Tertinggi untuk Kemasan
Minyak Goreng dan Kemasan Minyak Goreng
Sederhana. Harga Eceran Tertinggi Rp 14.000/Liter
hanya berlaku untuk Minyak Goreng Curah melalui pembiayaan BPDPKS.

Sebelumnya pengekspor minyak nabati terbesar di dunia telah mewajibkan perusahaan untuk menjual 30 persen dari volume ekspor produk minyak kelapa sawit yang direncanakan, naik dari 20 persen yang diberlakukan pada Januari, di bawah apa yang disebut kewajiban pasar domestik (DMO) yang bertujuan untuk memastikan pasokan produk lokal di tengah melonjaknya harga minyak goreng.

Q: Apa yang terjadi dengan perubahan peraturan setelah DMO/DPO dan HET untuk Minyak Goreng Kemasan dibatalkan? Apa dampaknya terhadap selisih POGO dan kecukupan dana BPDPKS?

A: Pagu pajak dan retribusi ekspor kelapa sawit akan dinaikkan, katanya, dari maksimum gabungan USD 375 per ton menjadi USD 575 per ton. Pajak minyak kelapa sawit mentah maksimum akan diterapkan ketika harga mencapai USD 1.500 per ton.

Dalam sistem sebelumnya pagu pungutan ekspor hanya sampai level USD 1.000/ton sehingga BPDPKS tidak mendapatkan tambahan pendanaan meskipun harga CPO naik. Pada saatyang bersamaan selisih Palm Oil – Gasoil (POGO) membesar apabila harga minyak kelapa sawit naik. Selisih POGO inilah yang menyebabkan kebutuhan pembiayaan insentif biodiesel BPDPKS naik.

Dengan melebarnya selisih pungutan ekspor menjadi USD 575/ton maka selisih CPO Indonesia dan selisih harga CPO International menjadi lebih lebar. Ada dua skenario yang mungkin terjadi.

Dalam skenario pertama apabila kenaikan pungutan ekspor ditanggung oleh pembeli luar negeri, maka harga CPO international akan naik sementara harga lelang KPB akan relatif sama. Hal ini menyebabkan